Sabtu, 10 November 2012

Hero!

Hari ini adalah hari yang spesial.

Iya, katakan saja demikian. Aku bukannya tak setuju dengan apa-apa yang teman-temanku katakan. Namun, bagiku semuanya sama saja. Tak ada bedanya. Hanya ada aku dan blog pribadiku. Katanya tanggal sepuluh November tahun ini begitu spesial. Menyedihkan. Katakan saja begitu. Bukankah setiap hari itu sama saja? Tak akan berbeda kalau semuanya tak ada arti. Munafik. Cih.

Namun, satu hal yang begitu familiar di telingaku untuk hari ini.

Hari Pahlawan.

Mungin, kalau tanpa mereka, Indonesiaku sudah musnah. Terbenam dengan kegalauan akan yang namanya penjajahan. Namun, KENAPA para pemudanya semakin tak sadar? Kenapa? Kenapa malah yan diingat tanggal 10-11-12 sebagai tanggal spesial untuk menyatakan cinta. Aku hanya tersenyum saat melihat salah satu twitt dari @gabrielstev. Alumni Idola Cilik yang sangat aku sukai.

Isinya: Tanggal bagus, banyak orang jadian. Alasannya absurd, supaya mudah diingat tglnya. Hmm absurd, berarti hubungannya ga special dong?

Sempurna bukan? Atau jangan-jangan yang hanya gara-gara tanggal itu golongan ababil? Entahlah. Bagku, 10-11-12 itu sama saja. Bukan yang terspesial kecuali sebagai hari Pahlawan. Atau memang tak ada lagi yang memikirkan Pahlawan? Cukup memalukan.

Jumat, 09 November 2012

Mimpi!

Tinta terakhir terselesaikan. Sebuah tuisan singkat yang aku ukir untuk malam ini. Jemariku memang sedang lihai memainkan benda bertinta itu, namun bukan berarti aku tak ada pekerjaan. Jam berdentang. Menandakan kalau sudah pukul sembilan malam. Namun, namanya juga seorang remaja, aku pun tak peduli. Tanganku meraih [i]mouse[/i] komputerku, lalu membuka kumpulan lagu yang ada dalam folder pribadiku.

Mataku tertuju ke salah satu lagu.

Lagu dari Kelly. Iya, lagu itu populer di zamannya. Namun untuk sekarang pun tetap ternama. Ia pun menyetel dalam playlistnya. Mendengar lagu itu tersulut nafsunya untuk menjadi yang terbaik. Mimpi-mimpinya yang terus ia jaga kembali berkoar dalam pikirannya. Ia membuka kembali salah satu file pribadi dalam folder pribadi di laptopku. Aku baca janji-janji yang aku buat sewaktu pengumuman snmptn itu tertera.

Mataku memindai.

Membaca apa saja yang sudah aku lakukan hingga minggu ke sekian di sekolahku. Nilai. Kebanggaan. Tidak, aku belum melakukan semuanya. IPK, kelulusan, dan semuanya pasti bisa aku raih. Sebab, seperti lirik lagu Kelly yang kini aku dengarkan, 'i believe i can fly'. Iya, aku pasti bisa melakukan semua mimpi itu. Sebab, i believe i can fly.

Selasa, 06 November 2012

The Space

Jemarinya mengetuk ujung meja. Sesekali ia menoleh ke luar jendela. Hari ini. Tepat ketika dirinya merasakan apa yang namanya persahabatan. Namun, semuanya terpisah oleh jarak. Jarinya sesekali memainkan tutup pena yang tergeletak di dekatnya. Jam berdetang sebanyak delapan kali. Pertanda sudah jam delapan pagi. Sedangkan dirinya masih sibuk dengan lamunan yang entah sudah terbang kemana. Ia mengerjap sesekali, merasakan kepegalan yang seketika mendera.

"Hezel!"

Sebuah suara terdengar lantang. Ia menoleh, mendapati sosok Hazal yang sudah berdiri di depan ambang pintu. Hazal, lelaki yang selalu menutupi kakinya dengan sarung, menatapnya pekat. Hezel tak bersuara. Hanya diam saat Hazal masuk ke dalam kamarnya. "Bersiaplah. Kita akan jalan-jalan!" Hazal bersuara. Lelaki itu segera memilah-milah pakaian yang cocok untuknya. "Memangnya mau kemana?" balas sang dara. Hazal tak mengeluarkan satu kata pun. Hanya pergi begitu saja. Hezel pun mengenakan pakaian yang sudah dipilih oleh temannya itu.

Mereka pun melangkah.

Melewati beberapa rumah. "Hezel, aku ada yang ketinggalan...." suara Hazal terdengar lagi. "Kau duluan saja." Memberi perintah kepada sang bocah perempuan. Hezel hanya melangkah. Namun, seseorang menarik tangannya. Entah dirinya tak mengenal sosok itu. "Kau disini ternyata!" sosok itu segera berubah. Menjadi sosok lain yang menyeramkan. Hezel berlari secepat mungkin, namun sia-sia. Tak ada yang bisa menyelesaikan kecuali bantuan. Tiba-tiba si Hazal berdiri di depannya. Tanpa sarung seperti biasa. "Manticore with me." Suara Hazal lantang. Hazal segera mengajak dirinya pergi. Sesekali mereka melempari makhluk aneh itu dengan bebatuan.

Ia pun menoleh ke belakang.

Tak ada siapapun, namun perhatiannya teralih ke Hazal. "Kok tidak pake sarung?" tanya dara. "Aku ini satirmu, pelindungmu. Maaf aku menyembunyikannya." balas Hazal sembari tersenyum. Mereka pun melanjutkan perjalanan.

"Tadi makhluk apa?" sang putri kecil bertanya lagi. "Oh itu Manticore. Kau ini anak dari Dewi." cerita Hazal. Mereka pun bergerak lebih cepat. Menaiki mobil yang ada sampai ke suatu tujuan. "Bersiaplah menjadi demigod dan menuju perkemahan." senyum Hazal mengembang.

"Apa?"tanyanya lagi.

"Iya, jarak antara kau dan ibu Dewimulah yang membuatnya seperti sekarang."

Happy Birthday

01 Juni.

Iya, itu adalah tanggal hari ini. Ia pun menatap kembal kalender yang sudah tertera di dekatnya. Bolpoin merah sudah melingkari tanggal yang baginya penting itu. Namun, ternyata hanya sia-sia. Tak ada satu kejutan pun yang ia terima. Pemuda yang harusnya berulang tahun hari ni pun merasa ada yang berbeda. Ia meraih jaket kulit miliknya. Tanpa pakaian ia hanya menggunakan jaket.

"Mau kemana?"

Ayahnya bersuara.

Ia menoleh, melempar senyum sopan kepada lelaki paru baya yang sedang asyik menyeruput kopi kesukaannya. "Sebentar keluar." Senyumnya merekah. Ia pun melangkah lebih cepat, meraih kunci motor miliknya yang terpampang di dekat kalender keluarga. Lagi-lag ia melihat tanggal hari ini Iya, dia masih mengharapkan hal itu terjadi. Kejutan a la artis yang sering ia lihat di layar datar. Namun, itu tak ada arti kini. Ia pun menghidupkan kendaraannya lalu melaju melewati kota.

Gemerlap lelampuan begitu indah mempesona.

Selang-seling bunyi desingan kendaraan terdengar di telinganya. Kali ini tujuannya adalah rumah Bryan. Seperti biasanya, mereka perlu melakukan rutinitas sesama lelaki dengan Bryan. Ia pun sampai, namun sayangnya ia kecewa. Rumah Bryan sepi, lampu luar rumah pun tak hidup. Ia pun kembali melaju. Hembusan angin menutupi wajahnya yang tak mengenakan helm. Ia pun sampai di rumah.

Namun,

Tak ada siapapun di rumahnya. Kosong. Gelap. Hanya ada satu cahaya yang berasal dari lampu rumahnya. Ia pun memarkirkan kendaraannya dan segera masuk ke rumah.

Dan,

"Happy Birthday!" desingan terompet m\terdengar. Para sahabat dan keluarganya berkumpul. Hari 'ulang tahun'nya benar-benar lebih istimewa daripada yang ia harapkan.

Minggu, 04 November 2012

The Past of Life

"Woi!"

Suara Glenn mendengung keras ke hadapanku. Aku ingin sekali manampar wajah lelaki brengsek yang ternyata pacar adik perempuanku itu. Iya, lelaki itulah yang ternyata menghamili wanita satu-satunya selain ibuku di rumahku itu. Aku hanya berlalu saja, tak peduli dengan apa yang dilakukan oleh kawan satu kelasnya itu. Peduli setan dengan panggilan barusan. Ia masih begitu dendam akan yang sudah dilakukan olehnya terhadap adik perempuanku.

Aku melangkah dengan pasti. Melewati dengan santai seperti suara dari temanku itu tak ada. Namun, ternyata ia salah. Lelaki dengan nama belakang Alonso itu tetap menemuiku. "Pinjam tugas kimia dong." suara bass Glenn terdengar keras di telinganya. Ia segera memasang wajah tak percaya dengan apa yang baru saja ia katakan. Cih. Munafik. Brengsek. Ingin rasanya ia mendorong keras sang lawan bicaranya itu, namun tidak. Ia tak mau mendapat hukuman gara-gara ulahnya barusan. Apalagi mereka tepat berada di depan beberapa dosen itu.

"Apa kau bilang? Pinjam?" gertaknya kasar.

Raut wajahku berubah. Jauh dari biasanya. Keadaan di antara kami pun tak seperti dulu. "Iya pinjam. Kau gak tuli kan?" jawab Glenn dengan santun. Dasar iblis. Tak akan pernah mengerti akan kesalahan ternyata, pikirku langsung. Aku mengajak Glenn lebih jauh posisi dari para guruku, lalu mendorong tubuh Glenn yang sama tingginya dengan postur tubuhku. "Apa kau tak sadar salahmu, iblis?" Amarahku benar-benar tak terkontrol kini. "Adikku hamil gara-gara kau, keparat!" sergahku dengan desisan yang keras.

"Apa kau tak ingat salahmu juga, brengsek?" Glenn membalas sama halnya dengan yang aku lakukan tadi. "Kau juga telah menghamili kakak perempuanku...." suara Alonso muda membahana. Pikiranku akan 'masa lalu'ku pun teringat kembali. Iya, dulu ia pernah menghamili kakak perempuannya Glenn. Dulu. Saat mereka tak sengaja bercinta, namun akhirnya sengaja bercinta hingga kakak perempuannya hamil. "Jadi adil kan?" ketawanya penuh bahagia. Aku pun tertunduk lesu.

Masa lalu memang menjadi penentu masa depan.

Kamis, 01 November 2012

Dosen? Apa?!!!

"Baby, bangun!''

Suara ibunya terdengar lantang dari bawah. Beberapa kali kamarnya sudah diketuk oleh ibunya. Hari ini merupakan hari yang tak ia tunggu. Bagaimana tidak coba kalau habis ini harus berurusan dengan pelajaran yang ya begitulah. Ia segera bangun, merapikan sejenak kasurnya yang sudah berantakan. Jam menunjukkan pukul delapan lewat sebelas. Masih jauh sebenarnya pelajaran satu itu, namun lagi-lagi terasa dekat.

"Morning, mom." Suaranya terdengar. Ia pun memeluk ibunya dari belakang, memberikan kecupan sopan layaknya anak kepada seorang ibu. "Tumben kau malas bangun?" Ibunya bertanya. Ia hanya menggelengkan kepala, tak memberikan volume suara meski sekecil apapun.

Ia mengedarkan pandangannya. Iris abu-abunya menangkap sesosok yang begitu familiar. "Woi!" teriaknya kepada sepupu dari Amerikanya. Ia pun mendekati sang sepupu yang menurutnya sungguh jauh berbeda. Namun, tiba-tiba sebuah tangan memberinya penghalang. "Why?" Betapa terkejutnya seorang Knightley saat adik sepupunya itu melarangnya. "Kau itu bau. Mandi sana." Juluran lidah itu membuatnya jadi malu. Dulu, ketika masih kecil mereka biasa saja kalau dalam kondisi ini, namun sekarang, ketika sudah besar jadi luar biasa. Puh, mengesalkan. Ia pun melangkah lebih cepat dari biasanya. Maklum, sudah hampir sepuluh tahun mereka tak bertemu.

Dan, ia selesai dari rutinitasnya. Sudah mengenakan pakaian angkatan seperti biasa. "Marlon, antarkan aku ya." Senyumnya penuh jenaka. Adiknya itu hanya mengangguk setuju. Selang beberapa menit ia pun sampai di depan gedung pengajaran, segera turun dan melangkah bebas. Sebuah suara memanggil dirinya, ia menoleh, mendapati sosok Payne yang berlari terburu-buru. "Baby, kau sudah buat tugas pak Leo belum?'' Perrie Payne menanyakan tugas di pagi buta. "Emangnya ada apa?" tanyanya balik.

"Ada tahu. Tugas tentang mekanika yang kemarin." suara Perrie jelas terdengar. Ia mengingat kembali pelajaran apa yang diajarkan oleh 'dosen' yang kurang ia sukai.

"Ya sudahlah aku pinjam punyamu saja..." tatapannya memohon. "Aku malas belajar dengan dosen itu." iya, Perrie pasti mengerti.

Sang Kerisauan

Mentari bersinar terik. Secercah harapan setidaknya yang ia harapkan. Iya, pemuda ini memang sudah lama ingin merasakan udara yang hingga kini belum ia rasakan. Menyebalkan memang terlebih sejak kehidupannya sebagai mahasiswa baru. Tugas, laporan serta beberapa presentasi merupakan hal yang begitu biasa baginya kini. Namun, tidak untuk hari ini. Ia melepaskan seluruh penatnya sebelum akhirnya berkutat kembali dengan dunia pekerjaan.

"Geo, bisa bantu bentar?'

Sebuah suara menyerukan namanya. Suara itu begitu familiar. Ia pun menoleh. Seketika ia melihat sang sepupu dengan sempurna berdiri di depannya sembari memegang satu perkakas di sampingnya. Ia mendekat. Tak ada volume sedikit pun yang terdengar sekarang sampai sang sepupulah yang bersuara. "Kau bisa pegangkan ini sebentar?" senyum usil itu tiba. Pemuda dengan nama lengkap Geo Sarvola ini hanya membantu sampai selesai.

"Sudah kan?" ia menatap anak itu dengan penuh tanya.

Sepupunya itu mengangguk, ia pun bertolak sila dari peraduan sang sepupu.

Langkahnya cepat menuju kamar. Ada sesuatu yang perlu ia lakukan dengan handphonenya. Iya, dia wajib mengirim pesan singkat, namun ternyata ia kalah langkah. Sebuah sms masuk dengan dering yang begitu kentara. Ia pun bergegas mengambilnya, membaca lalu menulis balasan. Dengan kaos yang sedang dipakainya ia pun menghidupkan motor besarnya.

Baru setengah perjalanan, sebuah deringan terdengar lagi. Ia pun mengangkat.

"Sabar. Aku sedang di jalan." suaranya memelas.

"Oke. Tapi cepat, aku sendirian." suara sahabatnya terdengar berbeda. Sedikit bergeming dan terdengar seperti ketakutan. Ia pun menutup telpon genggamnya dan mempercepat kecepatan volumenya. Ia pun segera memarkirkan kendaraannya. Berlari menuju ke kamar sahabatnya.

"Hayrel!" suaranya bergema.

Berbanding terbalik dengan temannya yang tadi menelponnya. Betapa terkejutnya sang pemuda saat melihat sahabat karibnya itu sudah terkujur lesu. Aliran darah mencuat dengan derasnya. "Apa yang kau lakukan?" desaknya. Ia pun menolong sahabatnya itu.

"Aku 'macet' dengan ide untuk tugas itu. Aku mohon bantuanmu."

Geo menghela nafas. Ia tak habis pikir dengan apa yang dilakukan sahabat dekatnya itu.